4/02/2011

Cerpen: Bangunkan Aku dari Mimpi

Malam ini kuputuskan mencari angin di luar. Aku sangat kesal dengan ayahku. Permintaanku tak dipenuhinya. Baru kali ini aku merasakan amarah ayahku sampai pada puncaknya. Memang berat tugas yang dipegangnya. Ia adalah kepala keluarga sekaligus Ibu bagiku. Sejak kecil aku sudah menjadi piatu. Ibuku meninggal saat aku terlahir di dunia.
Angin malam ini sangat kencang. Tak ada bintang berkelip di angkasa. Hanya bulan sabit melengkung dalam kegelapan. Jalanan pun sepi tanpa sinar lampu kendaraan. Kurentangkan tangan seraya menutup mataku. Kurasakan angin menepis rambutku. Tentram rasanya. Tapi ayahku berteriak memanggilku. Kudengar suara langkah kakinya berlari. Namun aku hanya fokus pada angin yang bertiup. Ketika aku buka mata aku terdorong ke pinggir jalan dan kulihat tubuh ayahku terbaring kaku. Tubuhnya penuh dengan darah. Seketika itu juga nafasnya terputus. Aku menangis dan meratapi kesalahanku.
“ Mbak, kita sudah sampai di stasiun.......”
“Oh, iya. Makasih sudah membangunkan.” Jawabku padanya. Akhir-akhir ini peristiwa itu selalu menghantuiku. Dalam keadaan terjaga maupun tidak aku selalu mengingat detik-detik kematian orang tuaku.
Seminggu sudah ayahku meninggal. Kini aku hanyalah anak yatim piatu. Aku diminta oleh keluarga ayahku untuk tinggal bersama mereka di Bandung. Jakarta kota kelahiranku tak bisa memberikan aku harapan untuk hidup sendiri. Disana aku tak memiliki sanak famili. Bandung inilah satu-satunya pengharapan terakhir. Aku akan mencoba melupakan semuanya dan bangun dari mimpi buruk. Walaupun aku tak berharap banyak karena keluarga ayahku menyalahkanku atas kepergian beliau. Jika bukan karena wasiatnya tak mungkin mereka mau menerimaku.
Dari stasiun Tugu aku menuju kerumah tanteku. Keluarga yang katanya akan merawatku. Kabar yang aku dengar mereka sempat ribut memutuskan tempat aku tinggal. Tak sudi mereka merawat orang yang dianggap sebagai pembawa sial. Entah apa yang membuat Tanteku mau menerima aku. Tapi setibanya di kediaman baruku dengan cepat perlakuan berbeda tampak. Judes dan sangar perawakan tanteku. Sikapnya acuh tak acuh. Kukira aku akan disambut dengan baik oleh keluarga besar ayahku. Tapi mereka berkumpul karena kebencian padaku. Tanteku bersedia merawatku asalkan aku akan membantu mengerjakan tugas rumah.
Yah, itu mungkin lebih baik bagiku. Namun, sudah jatuh tertimpa tangga. Aku seorang yatim piatu yang dijadikan pembantu oleh Tanteku. Setiap harinya pekerjaan rumah harus kulaksanakan. Sekolah hanya sebagai penutup agar orang memandang baik pada Tanteku. Ini bukan sebuah keluarga baru. Ini mimpi buruk yang terus berlanjut.

♥♥♥♥♥♥
Huh, pagi ini harus kuawali hari-hari dengan setumpuk pekerjaan. Dengan kekesalan yang merasuk ke jiwa. Sebelum berangkat sekolah semua tugas rumah tangga harus kuselesaikan dengan sempurna. Begitu banyaknya tugas ini. Tanteku tidak mengizinkan aku berangkat sekolah sebelum semuanya selesai. Walau waktu telah memanggilku, namun tugas tetap tidak boleh aku tinggalkan. Akibatnya setiap hari aku selalu terlambat ke sekolah. Seperti pagi ini, lagi-lagi aku dihukum karena melanggar peraturan yang menurutku jauh lebih menakutkan peraturan yang dibuat tanteku.
" Isvy,.. kamu terlambat lagi? Ibu sudah mengingatkan kamu berulang kali. Sebagai hukuman kamu harus berdiri disini sampai jam istirahat. Mengerti?"
" Baik, Bu," jawabku dengan mengangguk pelan.
" Besok orang tuamu harus datang menemui Ibu," begitulah interogasi Bu Nensi kepadaku. Entahlah apa tanteku akan datang. Meskipun belum pasti apakah setelah pertemuan besok aku bisa datang tepat waktu.
Inilah yang ada didepanku. Menatapi bendera merah putih berkobar diterjang angin. Aku bisa merasakan jerih payahnya di ujung tiang yang tak kenal lelah dan berkeluh kesah. Kodratnya untuk digantungkan dan dihormati setiap upacara Senin. Penghormatan yang kini hanya menjadi formalitas semata.
Panasnya siang ini, matahari mulai merayap di atas kepalaku. Perutku serasa diikat tali tambang. Baru kuingat sejak semalam perutku sama sekali belum terisi. Makan malam sudah habis karena ada tamu Tanteku dan pagi ini tak sempat kuingat nasib perutku. Kini tak ada yang bisa kuperbuat karena tak ada sepeser uang yang kumiliki. Syukurlah tak lama bel berbunyi. Setidaknya aku bisa merenggangkan kaki dan beranjak memasuki kelas. Tiba-tiba Lestari temanku datang menghampiri.
" Hai, Is.. Kamu kenapa?? Kamu telat lagi? Wajahmu pucat sekali," ucapnya dengan terburu-buru.
" Aku tidak apa-apa,"
" Oh, maaf aku terlalu banyak menanyaimu. Kamu yang sabar ya," ujar temanku. Ia satu-satunya teman yang paling baik disini. Senyumannya selalu manis kepadaku.
" Is, benar kamu ga' apa-apa?"
" Ha,??? Enggak kok," jawabku walaupun perut ini memberikan perlawanan. Dia sudah sering menolongku jadi kali ini biarlah Lestari tidak lagi kurepotkan.
" Ya udah, sebentar lagi bel. Hari ini kan ada ulangan KIMIA," ucapnya saat kami sudah tiba di ruang kelas.
" Ulangan???" mataku sontak membelalak. Hari ini ada ulangan KIMIA dan aku belum mempersiapkan diri secara maksimal. Mau bagaimana lagi kertas ulangan di depan mataku. Kertas putih yang harus kucoret dengan tinta hitam. Hingga penuh tak menyisakan tempat. Semoga saja pilihanku benar.
Ulangan KIMIA pun usai. Pelajaran dilanjutkan seperti biasanya. Waktu berlalu sangat lama bagi aku yang merintih menahan kesakitan. Saat pulang jalanku sempoyongan. Kepalaku terasa berat. Tak kuperhatikan langkahku. Lestari berkali-kali menanyaiku. Namun aku selalu mengatakan tidak padanya.
" Is, ayolah kamu kenapa?"
" Tidak, aku tidak apa-apa,"
" Tapi, mukamu..."
" Tidak, aku hanya sedikit kelelahan saja,"
" Is, awass..."
DRAKK. Bola itu cepat sekali melayang ke arahku. Belum sempat aku menghindar dari amukannya. Kepalaku kini benar-benar berat. Aku hanya ingat temanku mengatakan sesuatu.
" Is,,.Isvy,"
♥♥♥♥♥♥
Aww, kepalaku sakit sekali. Pandanganku kabur dan gelap. Kucoba mengingat memori di kepalaku. Hanya ucapan Lestari yang mampu kuraih saat ini. Aku berusaha keras untuk mencoba mengingat kejadian tadi. Semakin kucoba hanya kegelapan yang aku lihat. Tapi tunggu, ada sosok laki-laki di depanku. Wajahnya tak begitu jelas dalam ingatanku. Aku tak bisa lebih jauh mengingatnya.
Kupandangi ruangan serba putih di sekelilingku. Ya, ini ruang UKS. Berarti aku masih di sekolah. Pikiranku terpecah ketika seseorang muncul di depanku. Semakin dekat wajahnya semakin jelas terlihat. Aku merasa familiar dengan wajahnya.
" Bagaimana keadaanmu?"
" Oh, kepalaku sakit,"
" Memang, ada sedikit luka. Sudah aku obati setelah istirahat pasti akan berkurang rasa sakitnya,"
" Aku harus segera pulang,"
" Tunggu, kenapa terburu-buru,"
" Jam berapa sekarang?"
" Sekarang jam 5 sore,"
" Ha??? Aku harus segera pulang. Kenapa kamu tidak membangunkanku? Seharusnya kamu juga pulang sejak tadi,"
" Kamu tadi pingsan. Dan kulihat itu bukan hanya karena benturan tadi. Wajahmu sangat pucat. Kamu perlu istirahat. Jadi kubiarkan saja,"
" O, maaf aku tidak tahu. Terima kasih sudah menungguku. Tapi aku benar-benar harus pulang,"
" Kalau begitu biar aku antar. Ini sudah sore, sekolah sudah sepi. Lagi pula tak baik jika membiarkanmu pulang sendirian,"
" Tapi aku hanya merepotkanmu,"
" Sudahlah,. Aku sudah diberikan tanggung jawab untuk menjagamu,"
" Sekali lagi terima kasih ya,, Tapi aku belum mengenalmu,"
" Aku FIQRI. Senang berkenalan denganmu ISVY,"
" Dari mana kamu tahu namaku?"
" Itu,," jarinya menunjuk pada papan nama di seragamku. Tak kusadari hal itu. Sungguh sangat bodohnya diriku. Tapi aku mengaguminya. Ia benar-benar orang yang sangat baik dan sopan.
Perjalanan menuju rumah tidak membutuhkan waktu yang lama. Sebentar saja aku sudah sampai di depan kompleks perumahan. Sejenak terlintas di benakku apa yang akan dikatakan Tanteku jika aku terlambat pulang. Terlebih lagi aku pulang bersama seorang laki-laki. Uh, tamat sudah riwayatku. Kucoba meminta pada Fiqri untuk menurunkanku di ujung jalan. Tapi ia menolak permintaanku. Ia berkata akan mengantarkanku sampai depan rumah dan memberikan pengertian pada Tanteku. Namun aku yakin ucapannya tak akan didengarkan oleh Tanteku. Ternyata betul dugaanku bahwa kebaikan hati Fiqri dibalas dengan cacian.
“ Isvy,, kenapa baru pulang sekarang? Kamu tidak tahu pekerjaan menumpuk karena kamu?” teriak Tanteku.
“ Maaf Tante, aku ga bermaksud...” jawab Fiqri. Namun pembelaannya keburu disela Tanteku.
“ Kamu pasti keluyuran ya. Siapa dia? Oh, kecil-kecil sudah pintar pacaran ya?”
“ Maaf Tante saya hanya mengantarkan Isvy pulang. Tadi dia pingsan di sekolah,”
“ Ala, itu hanya akal-akalan kalian saja. Bilang saja kalian habis berkencan,” Tanteku terus saja memojokkan Fiqri. Ingin rasanya aku melawannnya. Tapi aku tak pernah menang darinya.
“ Enggak Tante. Tante jangan menuduh temanku sembarangan,”
“ Sudah, kamu masuk. Segera kerjakan tugasmu. Tapi lumayan juga cowokmu jadi Tante tidak perlu memberikan ongkos transportasi ke sekolah,”
“ Tante maaf kalau saya salah,”
“ Apa lagi yang kalian tunggu. Isvy cepat masuk. Dan kamu tugas kamu mengantarkan Isvy sudah tuntas bukan?” seru Tanteku dengan nada tingginya. Betapa malunya diriku pada Fiqri. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Saat ia hendak meninggalkan rumah kusempatkan mengatakan sesuatu padanya.
“ Fiq, thanks ya...”
♥♥♥♥♥♥
Hari-hari berlalu, terasa lama terlewatkan. Tak lain yang kukerjakan selain murung dan menatapi kehampaan hidupku. Kuharap ini hanya mimpi, namun aku bisa merasakan kesakitan, kepedihan, dan kesepian. Tak kuat untuk bangkit menghadapinya. Andai saja aku dilahirkan kembali, andai waktu bisa diulang. Ah, pikiran itu terus saja menghampiri. Perlahan tak ada lagi semangat dalam tubuh ini. Jiwa serasa melayang tanpa arti. Raga ingin remuk tertindas waktu. Kapan, kapan, aku bisa bangkit atau tidak sama sekali. Hati kecilku ingin bangkit. Tapi raga ini sudah tak mampu berdiri kokoh. Selalu saja masa lalu dan perasaan bersalah hinggap dalam pikiranku. Aku rasa aku memang tak mampu beranjak dari mimpi kelam ini. Apakah ini mimpi atau tidak. Tapi tetap saja aku terus begini. Tak ada lagi mimpi indah yang kutanam sejak kecil dulu. Semua musnah begitu saja. Mimpi yang kuhadapi ini tak pernah terlintas dibenak. Entah ini mimpi atau bukan. Aku sama sekali tak menginginkannya.
Sudah 3 bulan aku melewati mimpi ini. Hidup dengan tanteku di Bandung. Jangan katakan aku akan bahagia. Aku dianggapnya budak. Ia bersedia merawatku dengan menjadikan aku pembantunya. Kehidupanku saat ini jauh berbeda. Aku hanya menginginkan tempatku dulu. Kecil, sederhana namun penuh kasih sayang. Tak kerasan aku disini. Mereka menganggap aku sesorang yang merepotkan saja, bukan keluarga. Tak ada yang memberikan cinta dan kasih sayang. Hampa benar jiwa. Semua orang tak ingin mendengarku. Sekali saja berikan kesempatan itu. Aku benar-benar disudutkan. Terdakwa yang tak jelas kelanjutannya. Vonis saja aku seperti kehendak mereka. Buang, atau akhiri saja hidupku. Tak puaskah melihat gadis ini menderita menanggung beban, dosa, dan kesalahan yang tak bisa aku mengerti.
Sebentar lagi umurku genap 16 tahun. Ingin segera kutamatkan sekolah. Pergi bebas layaknya burung. Apa pun kulakukan asal terbebas dari sangkar ini. Aku ingin bangun dari mimpiku. Tapi mereka menjatuhkanku dalam peraduan yang gelap. Tanpa uluran tangan untuk mengangkatku. Aku sendiri harus berjuang. Melawan beratnya kehidupan. Jika aku telah bebas nanti akan kulakukan apa saja agar terbebas dari kerangkeng. Entah bahagia, atau mati sekalian.
Perjalanan waktu bagiku hanya bualan. Setiap harinya aku harus bersekolah. Melaksanakan tugas-tugas dengan disertai caci maki. Aku masih ingat perkataan tanteku saat itu. Kasar dan keras perkataanya. Sedikit kesalahan yang aku perbuat namun ia selalu mengaitkan dengan kematian ayahku. “ Dasar anak tidak tau diri. Sudah beruntung kami mau menerimamu disini. Lihat, tak beres pekerjaanmu. Pantaslah sial benar pembawaanmu. Dulu kau tebar kesialan itu hingga ayahmu mati. Kini tak cukup kau membawa sial di keluarga ini?” Begitulah ucapan tanteku karena aku lupa meninggalkan pekerjaan rumah. Ah, sungguh berat hidup ini. Aku ingin segera bangun dari mimpi.
Pagi ini kuayunkan kaki menuju sekolah. Sepanjang jalan hanya ayah dan ibuku yang kupikirkan. “Aku si pembawa sial” itu yang ada di otakku. Ibuku meninggal karena memperjuangkan aku agar dapat terlahir di dunia ini. Ayahku pergi dengan mengorbankan nyawa untuk gadis yang disayanginya ini. Seandainya saat itu aku menuruti kata-katanya ini semua tak terjadi. Andai aku tak menyebrangi jalan itu tentu... BRAKK
Jantungku berdegup kencang. Sekencang dorongan terhadap badanku. Kurasakan sakit pada pergelangan kaki. Sangat perih dan mengilukan. Nyaris saja aku menyusul ayah dan ibu. Moncong mobil sedan ingin sekali menyentuh tubuhku namun hanya tasku yang ia dapatkan. Untungnya seseorang telah menolongku. Ya, dua kali aku ditolong olehnya. Mukanya pucat pasi memandangiku. Kulihat ia ingin berbicara, tapi nafasnya masih tersengal-sengal.
“Isvy, kamu tidak apa-apa,” Tanyanya dengan cepat.
“Aku baik-baik saja,”
“ Apa yang kau lakukan ditengah jalan,”
“ ..........” Aku hanya terdiam. Aku tak menyadari yang telah kulakukan. Kematian menungguku disana. Mengajakku mengakhiri mimpi buruk ini. Jantungku masih berdegup, kuatur nafasku sembari melihat wajahnya yang tak kalah takutnya melihat kematian.
“ Is, pergelanganmu sakit?”
“ Ya,” ucapku pendek.
♥♥♥♥♥♥
Sore ini aku teringat pada orang tuaku. Mengingat masa kecil yang penuh keceriaan. Hatiku tertawa sendirian. Senyumku lebar bak pelangi. Sungguh indah seperti pelangi yang ada dihadapanku. Tadi siang memang sangat panas tapi tiba-tiba hujan turun. Tak masalah setidaknya taman berpelangi ini tak perlu kusiram.” Ajaib benar hidup ini” ucapku sambil menarik nafas panjang. Pelangi bisa muncul disaat tak terduga. Mengejutkan seluruh mata yang memandang. Aku ingin ada pelangi yang menghampiriku.
Tiba-tiba Fiqri muncul dihadapanku. Digenggamnya tanganku yang dingin. Sebentar saja aku sudah dalam dekapannya. Kucoba untuk melepaskan rangkulannya. Tapi hatiku begitu menjadi tenang dan damai. Sudah lama kurindukan kehangatan. Peristiwa menakutkan dalam hidupku muncul bersamaan dengan jatuhnya air mata. Dadaku sesak, senyumanku bercampur isak tangis.
“Aku cinta padamu,” ucap Fiqri. Aku sangat terkejut mendengar perkataannya. Kulepaskan diri dari dekapannya.
“Enggak, ga mungkin. Kita baru saja bertemu,”
“Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Perlu kamu ketahui selama ini aku membohongimu. Aku sudah mengenal kamu sejak lama. Aku mengikutimu dari Jakarta sejak mendengar kabar orang tuamu,”
“Apa maksudmu?”
“Apa kamu lupa. Dulu kita selalu bermain bersama. Ayah kita bersahabat. Oleh karena itu, aku berusaha mencarimu sampai disini,”
“ Ga mungkin. Kamu pasti berbohong,”.
“ Ini aku, Aku masih mengingatnya, tentang kenangan manis masa kecil kita. Aku sedih melihat keadaanmu sekarang.”
“ Tidak, Aku tidak bisa menerima ini dengan cepat. Aku sudah memutuskan untuk tidak mengusik kehidupan orang lain.”
“ Tapi Isvy. Lebih baik kamu ikut denganku,”
Itu suara terakhir yang kudengar darinya.. Memang berat rasanya. Tapi aku ga bisa menerima ini semua. Aku tak ingin kejadian itu terulang pada orang yang aku sayangi. Aku putuskan untuk meninggalkannya dalam malam yang dingin. Sendirian berlari tanpa arah, aku tak tau kemana akan kubawa badan ini. Sepanjang jalan aku teringat tragedi itu. Ketika aku harus kehilangan satu-satunya orang yang aku miliki. Ini semua salahku. Kini penyesalan itu selalu mengejarku. Kemana pun aku pergi.
Kupaksakan badanku melewati malam ini. Malam terberat yang aku rasakan. Penyesalan terus mengejarku. Ingin rasanya aku mengakhiri penderitaan. Kepalaku pusing dibuatnya. Semua menumpuk dalam otakku. Kepalaku penuh dengan penyesalan dan penderitaan yang membebaniku. Kepalaku berat seperti saat tragedi kematian orang tuaku. Aku tak tau lagi apa yang harus kulakukan. Hingga badan ini terhempas dengan keras.
♥♥♥♥♥♥
Sinar mentari telah membangunkan aku. Namun penyesalan dan penderitaan tak kunjung menghilang dari pikiranku. Semuanya bersatu seperti hendak mendorongku dalam jurang kelam. Aku berlari keluar, berhenti tepat ditengah jalanan yang panjang. Pikiranku tak karuan, kosong tanpa arti. Aku terpaku dalam kesunyian. Tak takut lagi pada apa pun, termasuk kematian.
Kupandangi langit biru tampak tenang tanpa kebimbangan. Saat kutolehkan kepala kulihat mobil dihadapanku melaju kencang. Inilah saat yang kutunggu. Dan semua berubah menjadi gelap. Tak sedikitpun rasa sakit kurasakan. Kegelapan yang sunyi tempatku kini berada. Namun, kudengar suara memanggilku.
Isvy,,,,.Isvy....
Ya, aku mendengar suara laki-laki memanggil namaku. Diujung kegelapan tersibak cahaya putih menyilaukan. Cahaya yang semakin terang hendak mengajakku bersamanya. Cahaya itu semakin kuat dan suara yang kudengar semakin jelas. Hilang sudah kegelapan dan pandanganku tak terhalang oleh apa pun.
Bukankah ini kamarku? Kupandangi seluruh sudut memperhatikan dengan seksama. Aku hanya melihat Fiqri disampingku.
‘Isvy,. Tadi malam saat aku datang kamu sudah tergeletak. Hidungmu berdarah. Semalaman kamu mengigau. Aku sangat khawatir.”
Aku hanya tersenyum menatapnya. Fiqri, aku senang masih bisa melihatmu disini. Begitulah kata hatiku. Ucapannya membuat aku bangkit.
“ Isvy, aku akan selalu membangunkanmu dari mimpi buruk ini.”

The END

2 comments:

Anonim mengatakan...

bagus yah cerpennya,,,,,,,,,,,,,
i like it

Isti Sofiyah mengatakan...

Terima kasih,, likenya

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger